Telah dijanjikan pada pohon kematian itu,
Yang menumbuh subur dan gagah, di kebun tua yang debunya dari mutiara yang memerah bak delima,
Akan tiba suatu ketika akan ku jamah buahnya yang manis dan kelat,
Tetapi, tidak akan terpetik buah kematian,
Tidak hingga usai nama ku di ukir pada batang pohon itu,
Oleh pekebunnya yang berwajahkan Timur yang cahaya,
Oleh pemetiknya yang bersayapkan Lam Yalid Walam Yuulad,
Lalu bertanyalah; "adakah buah untukmu itu akan manis atau kekal kelat?"
Aku berharap yang manis manis sahaja,
Tapi kalau baja yang ku tolong tabur dulu bukan pula baja yang amal,
Apa nak ku harap buah kematian ku baik sahaja?
Jadi sampai saat merasa, memakan dan menelan,
Saat buah kematian bercebis cebis melalui tenggorokan,
Hanya yang akan tahu cuma lah aku dan Dia,
Dan pohon kematian akan terus menumbuhkan hasilnya,
Dan nama nama lain akan terus diukir,
Tiap sebiji untuk satu jiwa,
Terus meranum, dipetik dan memutik kembali hingga ke penghujung masa.
Ini puisi yang sangat memberi kesedaran. Syabas.
ReplyDeleteMetafora kematian yang "manis".
oh. terima kasih encik edy g-minor! hihi
ReplyDeletetidakkah kita semua mahu yang baik dan manis. kan?
suatu peringatan yang baik, good job.
ReplyDeletesemoga menjadi baja amal untuk berbuah baik dan manis.